Malina belum
menentukan ke mana ia akan pergi ketika ia menumpang bus tua. Dia hanya tahu
bus itu akan keluar dari kota kecil tempat ia tinggal, dan itu pula tujuannya.
Ada beberapa
kursi kosong. Malina bergerak ke dalam dan memilih duduk di pinggir, dekat
jendela yang terbuka. Kursi di sampingnya belum terisi. Udara cukup dingin,
digesernya kaca jendela sampai rapat. Tas warna hitam yang mengembung ia
letakkan di antara kedua kaki.
Wajah cekung
dan bibir kering tanpa pemerah menambah getir penampilannya. Apalagi ia sama
sekali tidak tersenyum pada siapa atau apa pun. Sesekali ia semburkan napas
keras-keras, amat disengaja. Seseorang di depannya kadang menoleh. Mungkin
terganggu. Mungkin penasaran. Ia tidak hirau. Wajahnya ia tempelkan dengan
ketat ke kaca jendela. Kalau ada orang di jalan yang memerhatikan, mukanya
pasti mirip kaleng penyok.
Di luar
Malina melihat sawah, sedang hijau-hijaunya. Burung-burung kecil hinggap dan
terbang. Sebagian sawah yang lain, yang letaknya jauh ke dalam, mulai
menguning. Ia bayangkan di sana pasti lebih banyak burung-burung kecil, dan
petani pasti pula sangat sibuk menghalaunya agar menjauh. Sawah dan
burung-burung kecil itu membuat ia rindu pada kakek dan nenek di kampung.
Mereka sudah tua tapi tetap ingin pergi ke sawah. Di sanalah mereka benar-benar
dapat bahagia. Memang begitu jiwa seorang petani, kata ibunya memberinya
pengertian bila ia –ketika itu ia masih kecil– bertanya kenapa kakek dan nenek
tidak kerasan tinggal bersama mereka di kota.
Apakah itu
artinya kakek dan nenek bisa bermain lumpur seumur hidup mereka? Itu pertanyaan
lain yang mendekam di kepala Malina, namun tak mampu ia sampaikan pada orang
tuanya. Anak kecil tidak boleh terlampau ingin tahu semuanya, begitu pendapat
orang dewasa.
Ia hanya
merasa alangkah senang kakek dan neneknya itu. Bermain kotor dan tidak ada yang
melarang (sesungguhnya ini bukan semata-mata masalah boleh bermain kotor atau
tidak, tapi tentang kebebasan yang diidamkan semua anak kecil).
Bus
berhenti. Tubuh Malina terlonjak ke depan. Ia menarik tasnya yang sedikit
bergeser. Seseorang naik dan menempati kursi di sampingnya. Anak laki-laki
sepuluh tahunan dengan seragam pramuka yang lengkap. Seragam yang dulu amat
disukainya karena ia mengira sangat keren dengan rok warna coklat pekat. Berjam-jam
ia akan berdiri di depan cermin, mematut-matut penampilannya, sampai ibunya
ngomel-ngomel.
Anak lelaki
di sampingnya menguap. Ia perhatikan wajah itu tampak berat. Wajah cemberut
yang menahan beban. Mungkinkah ia habis dimarahi? Bisa pula ia sedang malas
sekolah tapi dipaksa untuk tidak membolos oleh ibunya. Jangan-jangan ia tengah
ketakutan karena lupa membuat PR dan akibat dari itu ia pasti mendapat hukuman
berdiri di halaman sekolah sampai jam pelajaran berakhir.
Buru-buru
Malina mengatakan pada dirinya agar berhenti memikirkan masalah di luar
kehidupannya. Hidupnya sendiri sudah terlampau rumit. Sekarang ia sedang
menjauhi kerumitan itu. Ia ingin memisahkan diri. Namun dalam bahasa
orang-orang di sekelilingnya, ia sedang ingin lari. Mau dibantah percuma. Maka
ia benarkan pendapat itu dengan keputusan yang membuatnya berada dalam bus tua
–tempat ia bertemu segala macam kejorokan yang dulu mungkin saja tidak
terbayangkan bisa sedekat ini.
Dalam bus
tua, Malina meremas jemarinya seperti remaja yang baru saja melompat dari
jendela kamar dan menemukan ruang kosong yang terlalu lebar. Ia mengalami
euphoria yang justru membuatnya kebingungan akan melangkah ke mana.
Tahun-tahun
terakhir, rasanya, ia hampir tidak punya momentum untuk berkata-kata, tertawa,
berpikir, mengkhayal, membuat puisi, membaca, menulis surat, menelepon teman
semasa kuliah, mengadakan perjalanan, menonton film, kopi darat dengan kenalan
baru, menghadiri peluncuran buku, atau menghabiskan waktu yang sifatnya lebih
personal dan tentu menyenangkan untuk dirinya.
Kini bus tua
membawa Malina makin jauh dari rumahnya. Rumah bercat putih bersih yang
menunjukkan betapa angkuh pemiliknya. Apalagi dengan model pagar yang terlampau
tinggi dan gembok besar yang selalu terpasang. Di rumah itu ia meninggalkan
anak perempuan tiga tahun yang belum pernah berpisah sekali saja dengannya.
Menangiskah
ia? bisik Malina kalut. Memang ia sudah menyiapkan semua kebutuhan anak itu.
Termasuk catatan mengenai berapa botol susu yang harus diberikan atau berapa
kali anak itu makan nasi atau buah dalam sehari. Tidak lupa ia juga
meninggalkan nomor telepon dokter anak langganannya. Untuk berjaga-jaga kalau
anaknya terserang pilek di musim yang tidak tentu ini.
Ia tahu
suaminya belum pernah mengurus anak seorang diri, tapi ia percaya semua akan
baik-baik saja. Bukankah dulu ia tidak tahu apa-apa tentang bayi sampai
kemudian ia sudah menjalani peran sebagai ibu selama ini. Kalau ia bisa
melewatinya, tak ada alasan untuk tak percaya pada suaminya. Lagi pula suaminya
bisa minta bantuan pembantu jika diperlukan, walau selama ini mereka jarang
menyerahkan hal-hal yang mereka anggap bisa dikerjakan sendiri, apalagi urusan
anak, pada orang lain.
Bus kembali
berhenti. Malina menegakkan wajahnya. Ternyata anak di sampingnya yang turun.
Malina tidak mendengar anak itu minta bus berhenti. Malina menggigit bibir. Ia
melamun jauh sekali rupanya. Ia menoleh lagi keluar jendela. Bukan lagi sawah,
melainkan semak sepanjang jalan. Semak itu berbunga ungu. Baru sekali ini ia
melihat semak berbunga ungu dalam jumlah yang banyak, memenuhi pinggir jalan,
hingga menyerupai karpet yang sangat panjang.
Buru-buru
Malina menyadari bahwa anak yang duduk di sampingnya tidak turun di depan
sebuah sekolah atau suatu perkampungan. Anak itu benar-benar tidak ingin ke
sekolah, dan ia akan bersembunyi di daerah yang penuh semak begini, pikir
Malina dengan kening berkerut.
Malina
memilih melupakan soal anak itu. Ia bersikeras pada dirinya, kalau itu bukan
urusan penting yang mesti ia tanggapi dengan serius.
Bus berjalan
lagi, kali ini cukup kencang dan tergesa. Malina segera tahu ada bus lain di
belakang bus yang ia tumpangi. Kejar-kejaran pun berlangsung seru, dan itu
membuat sejumlah penumpang menahan napas atau menjerit kecil.
Tidak ada yang
harus ia sesali dari kepergian yang telah ia pilih hingga ia ditakdirkan berada
di dalam bus tua yang bahkan besi-besinya telah rongsok dan sopir yang
ugal-ugalan. Benar ia sangat sebal pada sopir itu. Namun saat tahu penampilan
sopir itu ternyata amat miris, Malina tidak tega melanjutkan rasa sebalnya. Ah,
bus tua dan sopir yang bahkan rambutnya sekusam debu.
Debu?
”Aku
menyukai debu,” kata Malina pada suatu hari (ketika itu, membicarakan debu,
bagi Malina, serasa menyusun krisan putih di jambangan).
”Kenapa kau
menyukainya?” tanya pacarnya.
”Aku suka
baunya yang harum.”
Pacar Malina
geleng-geleng kepala.
”Apa kau
pernah mencium debu?” Malina memandang pacarnya.
”Aku pasti
bersin-bersin jika melakukan itu. Hidungku sangat sensitive.”
Malina
tenggelam dengan perasaannya, ”Ternyata kau tak suka debu.”
”Tidak ada
orang yang suka debu selain kamu.” Pacar Malina tertawa seakan ia sedang
melontarkan kalimat paling jenaka.
Berhari-hari
Malina ingat pernyataan pacarnya tentang hidungnya yang suka bersin bila
bersentuhan dengan debu. Lelaki yang tidak asyik, simpul Malina sangat kecewa.
Dan dengan
lelaki yang tidak asyik itulah ia justru menikah lima tahun lalu. Lelaki yang
mengajarinya menjadi tukang bersih-bersih; dari gorden, lantai, dinding,
keramik, koleksi botol parfum, sofa, dan masih banyak lainnya. Bertahun-tahun.
Padahal ia senang membiarkan kotor itu tetap menempel. Ia bisa membauinya,
meresapi. Ia bosan, dari kecil mendengar teriakan orang-orang saat ia lupa
memakai sandal atau lupa mencuci tangan sebelum mengambil sekeping biskuit.
Kenapa sih orang dewasa, saat itu, tak sedikit pun memberinya
pilihan untuk menyukai tanah atau debu di jejarinya.
Kotor adalah
kebebasan. Bersih adalah keterikatan. Ia memilih kotor. Apa yang kaucari
Malina? tanya suaminya tadi malam. Selama ini kau berbohong dan pura-pura
bahagia menjadi bagian dari kami?
Kau pasti
tahu bukan itu yang kumaksudkan.
Itu
kenyataan yang kami rasakan.
Kau
seharusnya mengerti perasaanku, keinginanku. Aku tak bermaksud merusak apa-apa.
Aku cuma butuh sendiri, melakukan sesuatu yang kusukai sekali waktu. Semacam
kebebasan. Tanpa kamu. Tanpa anak kita. Tanpa namamu di belakang namaku. Tanpa
rutinitas ibu rumah tangga yang menjemukan. Tanpa catatan belanja yang mesti
kulaporkan tiap minggu padamu. Tanpa tatapan pembantu yang telah kau sogok
untuk mengawasiku. Tanpa orang tua yang masih saja merasa berhak mengatur
kehidupan kita seakan kita belum cukup mampu untuk membuat keputusan sendiri.
Kau
menyakiti kami. Kau benar-benar menyakiti kami.
Itu tidak
benar.
Kau bahkan
tak tahu dadaku begitu remuk, Malina
Ternyata kau
tidak mengerti sedikit pun. Bukan. Bukan itu yang kuinginkan. Aku butuh
sendirian dan itu berbeda dengan keinginan menyakiti orang lain. Berbeda
sekali. Sayang, kau tak paham.
Ini memang
tidak sederhana, kemam Malina, sekali lagi, bukan masalah bersih atau kotor
semata. Namun ini tentang dirinya yang ingin berkata-kata, tertawa, berpikir,
mengkhayal, membuat puisi, membaca, menulis surat, menelepon teman semasa
kuliah, mengadakan perjalanan, menonton film, kopi darat dengan kenalan baru,
menghadiri peluncuran buku, atau menghabiskan waktu yang sifatnya lebih
personal dan tentu menyenangkan untuk dirinya.
Aku tak
memiliki keyakinan kau bisa memberiku kesempatan untuk itu jika kau sama sekali
tidak paham meski aku sudah berkali-kali mengatakannya, Malina memejamkan
matanya.
Lalu di
sinilah aku, masih dalam bus tua dengan bunyi mesin yang meraung-raung. Aku
punya perasaan kalau bus yang kutumpangi akan membawaku ke suatu tempat yang
sangat jauh, tempat di mana aku akan melepaskan segala yang melekat di
kehidupanku. Ini mungkin sebuah dosa, pengingkaran paling jahat. Hanya saja,
sejak saat ini, aku akan berhenti salah tingkah seolah-olah aku baru saja
mencuri sesuatu dari rumah orang lain. Aku kini memiliki tubuhku sendiri.
Malina
menggosok matanya, dan punggung tangannya sedikit basah.
Bus tua menyusuri jalan yang terus menanjak. Jalan yang makin lama makin sempit.
Semak-semak juga makin sesak di kanan kiri jalan. Rupanya bus ini menuju ke
puncak bukit. Malina melihat ke sekelilingnya. Ia tercengang. Dia penumpang
satu-satunya yang belum turun. Tidak sedikit pun ia ingat, di titik mana saja
bus ini berhenti dan menurunkan penumpangnya.
Malina
berdiri sambil berpegangan pada sandaran kursi. Hati-hati ia bergerak ke depan,
ke arah sopir yang berambut sekusam debu. Tepat di belakang sopir itu, ia
bertanya dengan suara yang sengaja dikeraskan: Di mana tempat perhentian
terakhir bus ini.
Bus mendadak
berhenti. Malina hampir saja tersungkur ke depan dan ia bersungut-sungut. Sopir
bus membalikkan badannya, menatap Malina dingin, sembari menjawab: Di neraka.
Seketika
tubuh Malina limbung. Mata sopir bus itu sama persis dengan mata suaminya.
Jogjakarta,
29 Maret 2010
*) Yetti
A.KA, bergiat di Komunitas Daun, Padang
0 komentar:
Posting Komentar