Perempuan
tua itu mendongakkan wajah begitu mendengar desingan tajam di atas
ubun-ubunnya. Di langit petang yang temaram, ia melihat lampu kuning, hijau,
dan merah mengerjap-ngerjap pada ujung-ujung sayap pesawat terbang.
Deru burung
besi itu kian nyaring begitu melewati tempatnya berjongkok. Ia menghentikan
gerakan tangannya. Menggiring burung itu lenyap dari mata lamurnya. Lalu,
tangannya kembali menggumuli cucian pakaian yang tak kunjung habis itu.
Beberapa detik sekali, tangan keriputnya berhenti, lalu ia menampari pipi dan
kaki. Nyamuk di belantara beton ternyata lebih ganas ketimbang nyamuk-nyamuk
rimba yang saban pagi menyetubuhi kulitnya saat menyadap karet nun jauh di
pedalaman Sumatera-Selatan sana: Tanah Abang.
Ia menarik
napas, melegakan dada ringkihnya yang terasa kian menyempit. Kicauan televisi
tetangga menenggelamkan helaan napasnya. Suara musik, iklan, dan segala hal.
Perempuan itu kembali menghela napas. Lalu, bangkit dari jongkoknya, menekan
tuas sumur pompa. Irama air mengalir dalam ritme yang kacau. Kadang besar,
kadang kecil, seiring tenaganya yang timbul-tenggelam. Air keruh memenuhi bak
plastik, menindih-nindih pakaian yang bergelut busa deterjen. Bau karet tercium
menyengat begitu air itu jatuh seperti terjun.
Ia adalah
Mak Inang. Belum genap satu purnama perempuan tua itu terdampar di rimba
Jakarta, di antara semak-belukar rumah kontrakan yang berdesak-desakan macam
jamur kuping yang mengembang bila musim hujan di kebun karetnya. Hidungnya pun
belum akrab dengan bau bacin selokan berair hitam kental yang mengalir di
belakang kontrakan berdinding triplek anak lanangnya. Bahkan, Mak Inang masih
sering terkaget-kaget bila tikus-tikus got Jakarta yang bertubuh hitam-besar
lagi gemuk melebihi kucing betinanya di kampung, tiba-tiba berlarian di depan
matanya.
Sesungguhnya,
ia pun masih tak percaya bila terjaga dari lelapnya yang tak pernah pulas,
kalau akhirnya ia menjejakkan kaki di ibu kota Jakarta yang kerap diceritakan
orang-orang di kampungnya. Suatu tempat yang sangat asing, aneh, dan begitu
menakjubkan dalam cerita Mak Rifah, Mak Sangkut, dan beberapa perempuan kampung
karibnya, lepas perempuan-perempuan itu mengunjungi anak bujang atau pun gadis
mereka. Sesuatu yang terdengar seperti surganya dunia. Serba mewah, serba manis,
serba tak bisa ia bayangkan.
”Kesinilah,
Mak. Tengoklah anak lanangku, cucu bujang Emak. Parasnya rupawan mirip almarhum
Ebak,” itulah suara Jamal kepadanya beberapa pekan silam. Suara anak lanangnya
yang kemerosok seperti radio tua, ia pun melipat kening saat mengetahui suara
itu berasal dari benda aneh di genggamannya.
”Dengan
siapa Mak ke situ?” lontarnya. Ada keinginan yang menyeruak seketika di dada
Mak Inang. Keinginan yang sejatinya sudah lama terpendam. Telah lama ia ingin
melihat Jakarta. Ibu kota yang telah dikunjungi karib-karibnya. Tapi, ia selalu
tak punya alasan ke sana, walau anak lanangnya, yang cuma satu-satunya ia
miliki selain dua gadisnya yang telah diboyong suami mereka di kampung sebelah,
merantau ke kota itu. Belum pernah Jamal menawarinya ke sana. Tak heran, ketika
petang itu Jamal memintanya datang, ia lekas-lekas menanggapinya.
”Tanyai
Kurti, Mak. Kapan ia balik? Masalah ongkos, Mak pakai duit Emak dululah. Nanti,
bila aku sudah gajian, Emak kuongkosi pulang dan kukembalikan ongkos Emak ke
sini,” itulah janji anak lanangnya sebelum mengakhiri pembicaraan. Suara
kemerosok seperti radio tua itu terputus.
Mak Inang
kembali menghela napas saat ingat percakapan lewat hape dengan anak lanangnya
itu. Beberapa pekan sebelum ia merasa telah tersesat di rimba Jakarta, di
semak-belukar kontrakan yang bergot bau menyengat. Ia melepas tuas pompa, air
berhenti mengalir. Tangannya menjangkau cucian, membilasnya.
Kota yang
panas. Itulah kesan pertama Mak Inang saat mata lamurnya menggerayangi terminal
bus Kampung Rambutan. Sedetik kemudian, ia menambahkan kesan pertamanya itu:
Kota bacin dan berbau pesing. Hidung tuanya demikian menderita ketika membaui
bau tak sedap itu. Hatinya bertanya-tanya heran melihat Kurti demikian
menikmati bau itu. Hidung pesek gadis berkulit sawo matang itu tetap saja
mengembang-embang, seolah-olah bau yang membuat perut Mak Inang mual itu
tercium melati.
Belum jua
hilang rasa penat dan pusing di kepala Mak Inang, apalagi rasa pedas di
bokongnya, karena duduk sehari-semalam di bus reot yang berjalan macam keong,
beberapa orang telah berebut mengerubungi dirinya dan Kurti, macam lalat,
berdengung-dengung. Mak Inang memijit keningnya. Cupingnya pun ikut pening
dengan orang-orang yang berbicara tak jelas pada Kurti, gadis itu diam tak
menggubris, hanya menyeret Mak Inang pergi.
Mak Inang
kembali memeras beberapa popok yang ia cuci, sekaligus. Telapak kaki kanannya
yang kapalan cepat-cepat menampari betis kirinya begitu beberapa nyamuk
membabi-buta di kulit keringnya. Ia menghempaskan popok yang sudah diperasnya
itu ke dalam ember plastik. Jemari tangannya menggaruk-garuk betis kirinya.
Bentol-bentol sebesar biji petai berderet-deret di kulit keringnya. Ia
menggeram. Hatinya menyumpah-serapah kepada binatang laknat tak tahu diri itu.
Dua-tiga
hari pertama, Mak Inang cukup senang berada di rumah berdinding batu setengah
triplek Jamal. Rasa senangnya itu bersumber dari cucu bujangnya yang masih
merah itu. Walau, sesungguhnya Mak Inang terkaget-kaget saat Kurti mengantarnya
ke rumah Jamal. Semua di luar otak tuanya. Dalam benaknya yang mulai ringkih,
Jamal berada di rumah-rumah beton yang diceritakan Mak Sangkut, bukan di rumah
kecil sepengap ini. Keterkejutannya kian bertambah saat perutnya melilit di
subuh buta. Hanya ada satu kakus untuk berderet-deret kontrakan itu. Itu pun
baunya sangat memualkan. Hampir saja Mak Inang tak mampu menahannya.
”Mak hendak
pulang, Mal. Sudah seminggu, nanti pisang Emak ditebang orang, karet pun sayang
tak disadap,” lontar Mak Inang di pagi yang tak bisa ia tahan lagi. Ia
benar-benar tak ingin berlama-lama di ibu kota yang sungguh aneh baginya.
Sesungguhnya, Mak Inang pun aneh dengan orang-orang yang saban hari, saban
minggu, saban bulan, dan saban tahun datang mengadu nasib ke kota ini. Apa yang
mereka cari di rimba bernyamuk ganas, berbau bacin, bertikus besar melebihi
kucing ini? Mak Inang tak bisa menghabiskan pikiran itu pada sebuah jawaban.
”Akhir
bulanlah, Mak. Aku gajian saban akhir bulan, sekarang tengah bulan. Tak bisa.
Pabrik juga tengah banyak order, belum bisa aku kawani Mak jalan-jalan mutar
Jakarta,” ujar Jamal sembari menyeruput kopi hitam dan mengunyah rebusan
singkong. Singkong yang Mak Inang bawa seminggu silam. Mak Inang tak bersuara.
Hatinya terasa terperas dengan rasa yang kian membuatnya tak nyaman.
”Kurti libur
hari ini, Mak. Katanya tengah tak ada lembur di pabriknya. Nanti kuminta ia
mengawani Mak jalan-jalan. Ke mal, ke rumah anak Wak Sangkut dan Wak Rifah,”
terdengar suara Mai, menantunya, dari arah dapur yang pengap.
Mak Inang
mengukir senyum semringah mendengar itu. Rasa tak nyaman yang menggiring
keinginannya untuk pulang mendadak menguap. Kembali cerita Mak Rifah dan Mak
Sangkut tentang Jakarta mengelindap. Gegas sekali perempuan tua itu menyalin
baju dan menggedor-gedor pintu kontrakan Kurti. Gadis itu membuka pintu dengan
mata merah-sembab, muka awut-awutan dengan rambut yang kusut-masai. Mak Inang
tak peduli mata mengantuk Kurti, ia menggiring gadis itu untuk lekas mandi dan
menemaninya keliling Jakarta, melihat rupa wajah ibu kota yang selama ini hanya
ada dalam cerita karib sebaya dan pikirannya saja.
Serupa kali
pertama Kurti mengantarnya ke muka kontrakan anak lanangnya, seperti itulah
keterkejutan Mak Inang saat menjejakkan kaki di kontrakan anak Mak Sangkut dan Mak
Rifah. Tak jauh berupa, tak ada berbeda. Kontrakan anak karib-karibnya itu pun
sama-sama pengap dan panas. Hal yang membuat Mak Inang meremangkan kuduknya,
gundukan sampah berlalat hijau dengan dengungan keras, bau menyengat, tertumpuk
hanya beberapa puluh meter saja. Kepala Mak Inang berdenyut-denyut melihat itu.
Lebih-lebih saat menghempaskan pantatnya di lantai semen anaknya Mak Sangkut.
Allahurobbi, alangkah banyak cucu Mak Sangkut, menyempal macam rayap.
Berteriak, menangis, merengek minta jajan, dan tingkah pola yang membuat Mak
Inang hendak mati rasa. Hanya setengah jam Mak Inang dan Kurti di rumah itu,
berselang-seling cucunya Mak Sangkut itu menangis.
Kebingungan
Mak Inang pada orang-orang yang saban waktu datang ke Jakarta untuk mengadu
nasib kian besar saja. Apa hal yang membuat mereka tergoda ke kota bacin lagi
pesing ini? Segala apa yang ia lihat satu-dua pekan ini, tak ada yang membuat
hatinya mengembang penuh bunga. Lebih elok tinggal di kampung, menggarap huma,
membajak sawah, mengalirkan getah-getah karet dari pokoknya, batin Mak Inang.
Tangan Mak
Inang kembali menekan-nekan tuas pompa, air keruh dengan bau karet yang
menyengat kembali berjatuhan ke dalam bak plastik. Kadang besar, kadang kecil,
seiring dengan tenaganya yang timbul tenggelam. Lagi, Mak Inang membilas cucian
pakaian cucu, menantu, anak lanang, dan dirinya sendiri. Mendadak Mak Inang
telah merasa dirinya serupa babu. Di petang temaram bernyamuk ganas, ia masih
berkubang dengan cucian. Di kampung, waktu-waktu serupa ini, ia telah
bertelekung dan gegas membawa kakinya ke mushola, mendahului muadzin yang
sebentar lagi mengumandangkan adzan.
Lampu
benderang. Serentak. Seperti telah berkongsi sebelumnya. Berkelip-kelip macam
kunang-kunang di malam kelam. Lagi, terdengar suara desingan tajam di atas
ubun-ubun Mak Inang. Ia pun kembali mendongakkan wajah, mata lamurnya melihat
lampu merah, kuning, hijau berkelip-kelip di langit temaram. Nyamuk-nyamuk pun
kian ganas dan membabi-buta menyerang kulit keringnya.
Wajah Mak
Inang kian mengelap, hatinya menghitung-hitung angka di almanak dalam benak.
Berapa hari lagi menuju akhir bulan? Rasa-rasanya, telah seabad Mak Inang
melihat muka Jakarta yang di luar dugaannya. Benak Mak Inang pun hendak
bertanya: Mengapa kau tak pulang saja, Mal? Ajak anak-binimu di kampung saja.
Bersama Emak, menyadap karet, dan merawat limas. Tapi, mulut Mak Inang terkunci
rapat.
Malam di
langit ibu kota merangkak bersama muka Mak Inang yang terkesiap karena seekor
tikus got hitam besar mendadak berlari di depannya. Keterkejutan Mak Inang
disudahi suara adzan dari televisi. Perempuan itu kembali menekan tuas sumur
pompa, air mengalir, jatuh ke dalam ember plastik. Ia membasuh muka tuanya
dengan wudhu. Bersamaan dengan itu, mendadak gerimis turun, seolah ibu kota pun
hendak mencuci muka kotornya dengan wudhu bersama Mak Inang. Muka tua yang
telah keriput, mengkerut, dan carut-marut.
0 komentar:
Posting Komentar