Minggu, 17 Februari 2013

Catatan seorang perintis kemerdekaan


Mohammad Bondan seorang perintis kemerdekaan, karena aktif berjuang melawan penjajah, pernah dibuang oleh pemerintah Belanda ke Tanah Merah Boven Digul, suatu tempat yang terletak di pedalaman, di tengah-tengah pulau Papua. Wilayah itu terkenal dengan hutan yang lebat dan banyaknya nyamuk Malaria.
Catatan ini disusun oleh Alit Bondan berdasarkan catatan harian Moh.Bondan selama masa pembuangannya bersama-sama dengan Moh.Hatta dan Sutan Syahrir serta ratusan perintis kemerdekaan lainnya. Beliau dilahirkan di Cirebon 15 Januari 1910.


September 1927 , Moh.Bondan telah aktif dalam Rapat PNI ( Perserikatan Nasional Indonesia ) di Cirebon. Sesungguhnya anak-anak yang belum cukup umur 18 Tahun dilarang mengikuti kegiatan politik, tetapi untuk mengelabui polisi dia menyamar sebagai orang yang lebih tua dengan berpakaian adat jawa.
Desember 1929 , Rapat umum yang sama akan diadakan oleh PNI di tempat yang sama. Kemudian rapat diundur menjadi 1 Januari 1930. Tetapi apa hendak dikata, Tanggal 29 Desember 1929 secara besar-besaran Belanda menangkap semua aktifis PNI di pusat maupun di cabang seluruh Indonesia, Termasuk Moh.Bondan. Hal itu mendapat reaksi dari segala pihak, antara lain PPPKI yang dipimpin oleh Dr.Sutomo, kaum nasionalis di dalam volksraad dan perhimpunan Indonesia di negeri Belanda. Akhirnya setelah disekap 2 minggu, pemerintah Belanda membebaskan para tahanan kecuali empat orang, yakni : Ir.Sukarno, Gatot Mangkupraja, Maskun dan Supriadinata. Moh.Bondan sebelum dibebaskan, dibawa menghadap Tuan Hilje, residen Cirebon yang langsung memecatnya sebagai pegawai Kotapraja Cirebon. Alasan pemecatan, berkelakuan buruk diluar dinas dan pola pikir yang revolusioner. Walaupun demikian Moh.Bondan merasa bangga karena jiwa nasionalismenya diharhagai oleh tuan residen. Karena di Cirebon tidak ada harapan untuk mendapatkan pekerjaan , Moh.Bondan pindah ke Jakarta dan bergabung dengan tokoh-tokoh pengurus partai.

Juni 1932 , Kongres PNI pertama di Bandung. Utusan dari Jakarta Sutan Syahrir terpilih sebagai ketua umum sedangkan Moh.Bondan sebagai komisaris untuk Jawa Barat. Kongres membahas Azas kebangsaan dan Azas kerakyatan dan meningkatkan program usaha untuk kepentingan pendidikan politik, ekonomi dan sosial. Diputuskan juga untuk menerbitkan sebuah majalah yang bernama Kedaulatan Rakyat.
Dalam sebuah rapat umum di Gang Kenari Jakarta, Moh.Bondan mengucapkan slogan : Tanpa Sukarno - Hatta, kita jalan terus. Maksudnya untuk memupuk semangat hadirin, karena sukarno mendirikan Partindo, kemudian Sukarno ditangkap Belanda disertai larangan terhadap rapat-rapat partai dan rapat umum. Istilah Kemerdekaan yang sering dikumandangkan oleh partai menjadi momok bagi penguasa.
Dalam suatu rapat rahasia di Bandung, PNI memutuskan untuk tetap jalan terus walaupun ada larangan, dan memilih pengurus baru : Bung Hatta sebagai Ketua, Burhanuddin sebagai Sekretaris. Maskun menjabat Wakil Ketua I dan Suka Sumitro menjadi bendahara II, Moh.Bondan terpilih sebagai Komisaris Umum , sedangkan Bung Syahrir tidak diberi jabatan karena akan melanjutkan studinya di Negeri Belanda.
25 Februari 1934, Pengurus baru dan pengurus lama PNI ditangkap Belanda. Bung Hatta , Syahrir dan Bondan ditangkap di Jakarta, sedangkan Burhanuddin, Maskun, Suka Sumitro dan Marwoto ditangkap di Bandung. Setelah 5 Hari meringkuk dalam tahanan polisi di Koningsplein West ( Jalan Merdeka Barat ), bung Hatta dan Moh.Bondan dipindahkan ke penjara Glodok, dan Syahrir dijebloskan ke penjara Cipinang.

4 September 1934, Setelah Enam bulan dalam sel 4 X 4 Meter di Penjara Glodok, biasanya untuk tahanan Eropa, barulah diperiksa oleh Cornelis Jacobus Seegeler , yaitu seorang Controleur voor de Politie . Pemeriksaan dilakukan dari pukul 08.00 s/d 14.00 di jalan Molinvlist Cost ( jalan Hayam Wuruk , kini kantor Dirjen Perhubungan Udara ). Dari pertanyaan yang diajukan , apakah anda seorang tokoh yang berpengaruh, berapa kali jadi utusan ke kongres atau konferensi , pernah memimpin rapat umum dan sebagainya , sudah dapat diketahui bahwa dia tidak akan diajukan ke pengadilan, melainkan dibuang.
29 Januari 1935, Malam sebelumnya bersama Bung Hatta dibawa ke kantor penjara untuk urusan administrasi dan dimasukkan ke mobil tahanan yang membawanya ke Tanjung Priok. Di sana sudah menunggu kapal Motor Melchior Treub yang akan membawa mereka ke tanah buangan. Hatta dan Syahrir ditempatkan di kelas 2, tetapi mereka lebih senang berkumpul dengan teman-teman di dek, karena bisa bergurau.

31 Januari 1935, Kapal singgah di Surabaya tetapi tidak merapat ke dermaga. Kapal meneruskan pelayarannya dan dua hari kemudian sampai di Makassar. Para tahanan dijemput ke tengah laut dengan Bargas, merapat di luar area pelabuhan dan dijebloskan ke dalam penjara kota. Tiga hari di Makassar, dengan kapal KPM yang lebih kecil, bernama Van Der Weyck pelayaran dilanjutkan ke Ambon. Sebelumnya mampir sebentar di Kendari mengambil barang-barang pos dan juga di Banda Neira. Di Ambon ganti lagi dengan kapal yang lebih kecil bernama Albatros , mampir di Tual memuat perbekalan dan melanjutkan pelayaran menuju Digul.

22 Februari 1935, jam 9 pagi para korban kekuasaan politik kolonial Belanda berdasarkan Undang-Undang Exorbitante Rechten yang dilaksanakan oleh Gubernur Jenderal B.C de Jonge , mendarat di Ibukota Boven Digul yang bernama Tanah Merah dan dilakukan serah terima dari polisi yang mengawalnya dari Tanjung Priok kepada penguasa setempat yang diwakili oleh seorang kapten tentara KNIL.
Dari Daerah penguasa ( bestuurterrein ) mereka dibawa ke daerah orang buangan melalui sungai kecil bernama Wet dengan diantar oleh lurah kampung Tanah Merah. Di Tanah Merah tadinya ada tujuh kampung dari kampung A sampai G. Tapi sejak adanya sistem pemulangan tahun 1931 tinggal 2 kampung B dan C. Jumlah orang buangan sekitar 900 tidak termasuk keluarganya. Yang jadi lurah namanya Budisucitro yang pernah dibuang ke daerah terpencil lagi bernama Tanah Tinggi , yaitu tempat bagi orang-orang radikal. Penghuninya sampai 100 Orang, tapi kini tinggal belasan saja.

Mei 1935, Moh Bondan terkena demam malaria dan dirawat di rumah sakit Wilhelmina selama dua minggu. Akibat panas badannya yang mencapai 40,2*C, telinga kirinya menjadi tuli. Bacaan cukup banyak, Hatta dan Syahrir menerima Volksblad, De Groene, Amsterdammer dan Nieuwe Rotterdamche Courant sebulan sekali. Moh.Bondan menerima harian Soeara Oemoem dan mingguan Doenia Dagang dari Surabaya dan harian Pemandangan dari keluarga. Sayangnya Hatta dan Syahrir hanya setahun berada di Tanah Merah.
Awal tahun 1943, Ketika lautan teduh menjadi gelanggang peperangan, persediaan makanan makin menipis. Hampir dapat dipastikan setiap pukul 9.00 pagi pesawat Jepang datang dari Ambon memuntahkan peluru senapan mesinnya dan kadang-kadang juga bom yang menghantam radio atau kapal yang sedang membongkar bahan makanan. Belanda mulai panik dan mengungsikan orang buangan ke pedalaman lagi ke tempat yang bernama Wantaka , di tepi kali Bian.
29 Mei s.d 10 Juni 1943, Setiap pukul 17.00 orang buangan diangkut dengan kapal motor ke suatu tempat dan besoknya dengan pesawat Catelina diterbangkan ke gugusan pulau Thursday di wilayah Australia. Setiap pesawat datang membawa tentara Australia, dan kembalinya mengangkut orang buangan beserta keluarganya ke tempat karantina. Di sana berkumpul lebih kurang 600 Orang buangan beserta keluarganya.
23 Juni 1943 , kapal laut yang membawa orang buangan dari tempat karantina memasuki pelabuhan Brisbane . Tidak kurang 20 Truk mengangkut orang buangan ke luar pelabuhan menuju kamp pengungsian. Tiga bulan kemudian Moh.Bondan dirawat di Rumah Sakit sipil di kota Cowra , karena lututnya keseleo akibat main bola. Untuk kedua kalinya Moh.Bondan masuk rumah sakit. Kali ini karena radang usus buntu yang harus dioperasi. Disini Moh.Bondan berkenalan dengan seorang tentara Australia yang berasal dari Sydney dan menitipkan kepadanya suatu catatan kecil yang menyatakan bahwa orang-orang yang berada dalam kamp pengungsian bukanlah para tawanan melainkan pengungsi politik dari Digul. Catatan itu oleh seorang Kopral diserahkan kepada Asosiasi Australia - Indonesia di Sidney yang sekretarisnya dijabat oleh Miss Molly Warner . Tidak mengira sedikitpun , dan mimpipun tidak, tiga tahun kemudian (1946) gadis itu menjadi Istri Moh.Bondan.

Keluar dari Kamp Pengungsian , Moh.Bondan dibawa ke desa Helidon dekat kota Toowoomba , bekerja sebagai tukang membersihkan peralatan perang atau benda-benda amunisi. Hampir setahun bekerja disana, Moh.Bondan ditarik ke Melbourne dan bekerja sebagai anggota redaksi surat kabar berbahasa Indonesia, Penyoeloeh dengan penanggung jawabnya Winanta.
18 Agustus 1945, para pengungsi mendengar proklamasi dari radio Bukittinggi berbahasa Arab. Bersama-sama mereka dengan dibantu seorang guru Australia menterjemahkan proklamasi tersebut. Selanjutnya mereka membentuk suatu organisasi bernama Central Komite Indonesia Merdeka atau Cenkim dan Moh.Bondan diangkat sebagai sekretarisnya.

21 September 1945, pemogokan umum menentang Belanda mulai dari Brisbane menjalar ke seluruh Australia dan Selandia Baru, terus ke Amerika Serikat, Eropa dan Timur Tengah. Di manapun kapal Belanda berada apalagi yang membawa peralatan perang, tidak bisa bergerak akibat pemboikotan ini.
Atas nama Cenkim, Moh.Bondan mencoba menghubungi beberapa tokoh dunia. Surat tertanggal 17 Juni 1946 kepada Department Of State agar Amerika Serikat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di PBB, mendapat balasan yang ditandatangani oleh Alger Hiss, Direktur Kantor Khusus urusan politik. Cenkim juga menulis surat tertanggal 30 Januari 1947 kepada DR.R.V Evatt, Menteri Luar Negeri Australia yang ketika itu sebagai Ketua Konferensi Asia Pasifik mengadukan bahwa Belanda mempunyai kamp Konsentrasi bagi buangan politik di Digul.

21 Juli 1947, Belanda merobek-robek perjanjian Linggarjati dan mengadakan serangan ke Republik. Cenkim mengadukan hal itu ke Perdana Menteri Australia, J.B.Chifley, yang membalas suratnya tertanggal 24 Juli 1947. Surat ke Sekjen PBB dibalas tanggal 31 Juli 1947, yang ditandatangani oleh Acting Sekjennya.
Oktober 1947, dengan pesawat komisi perdamaian yang bernama Komisi Tiga Negara ( Australia, Belgia dan Amerika Serikat ), Moh.Bondan beserta keluarga dipulangkan ke Ibukota Republik Indonesia masa itu, yaitu Jogyakarta.
6 Februari 1981, Moh.Bondan meninggal di Jakarta dan dimakamkan di Tanah Kusir , Jakarta Selatan. **


Sejarah Singkat Perjuangan Pahlawan Perintis Kemerdekaan RI, HM Arsyad Bin H Dukarim
HM Arsyad adalah salah satu tokoh pejuang dan pelaku sejarah yang terlibat langsung pada tiga dari empat periode perjuangan bangsa Indonesia. Nama besar HM Arsyad, pejuang Samuda, Kabupaten Kotawaringin Timur oleh pemerintah diabadikan sebagai jalan poros provinsi.
HM. Arsyad lahir di Kampung Maliku, Bati-Bati, Pelaihari, Kalimantan Selatan, 7 Mei 1874. HM Arsyad merupakan anak ke-2 dari 7 bersaudara dari pasangan H. Dukarim yang merupakan salah seorang anak saudagar Bugis bernama Kusin, dengan Siti Jaleha atau Datu Tampala, yaitu putri Kepala Suku Dayak Seranau bernama Hengang Sabung.
Pada tahun 1875, atau setahun setelah takluknya Kerajaan Banjar oleh Kolonial Belanda,  seluruh Keluarga HM. Arsyad di “Persona Non Grata” diusir keluar dari Pelaihari oleh Pemerintah Kolonial Belanda hingga akhirnya hijrah dan menetap di Kampung Basirih, tepatnya di Kecamatan Mentaya Hilir
Selatan, Samuda, Kabupaten Kotim.
HM. Arsyad adalah tokoh yang tidak pernah menikmati pendidikan sekolah formal seperti halnya para tokoh nasional yang dikenal dengan “Para Pendiri Bangsa” atau The Founding Fathers, namun HM. Arsyad telah mampu membentuk dirinya menjadi seorang Pendakwah Agama, Pelopor Pendidikan, Kepanduan dan Perkoperasian, Politikus Handal yang bertaraf nasional, dan bahkan seorang patriot yang gigih dan tak mudah menyerah hingga usia 70-an tahun.
Gambaran perjuangan HM. Arsyad diungkapkannya dengan pribahasa: “Kaki Kananku ada di Masjid, dan Kaki Kiriku ada di Penjara”  yang menggambarkan betapa beratnya perjuangan yang dilakukannya, karena sebagai pemimpin yang tegas dan Istiqomah, di samping harus menghadapi kelicikan Nederlands Indies Civil Administation (NICA), dia juga harus menghadapi “penghianatan” dari sekelompok orang yang tergiur iming-iming hadiah dan kedudukan dari pihak penjajah NICA.
HM. Arsyad adalah satu-satunya putra Kalimantan yang pada tahun 1920 memperoleh kepercayaan dari Pimpinana Pusat Partai Sarekat Islam (PSI) HOS Tjokroaminoto - H. Agus Salim untuk memimpin PSII Zuider En Oosterafdeeling Van Borneo (wilayah Kalimantan Bagian Selatan) dan bahkan pada tahun 1930 beliau bersama-sama HOS Tjokroaminoto dan H. Agus Salim menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama Islam di Makah.
Melalui kepemimpinannya di PSII tersebut, pada tahun 1926 HM. Arsyad berhasil mendirikan sebuah lembaga pendidikan “pribumi” pertama dengan nama Sekolah Sarekat Islam (SI) di Samuda. Dan pada tahun 1931 hingga 1942 HM. Arsyad berhasil mendirikan sebuah lembaga kepanduan (Kepramukaan) yang dikenal dengan Pandu SIAP di Samuda dan mengembangkan kegiatan tersebut kedaerah-daerah luar Samuda seperti Kuala pembuang, Kasongan, Kuala Kuayan, Pagatan, Mendawai serta Kumai.
“HM. Arsyad adalah satu dari sedikit tokoh yang terlibat langsung dalam merintis, merebut dan mempertahankan kemerdekaan” yang kita nikmati hingga saat ini,” kata Mulyadi Ambut pendiri Forum Penerus Perjuangan HM. Arsyad, Samuda.
Menurut Mulyadi, HM Arsyad melalui hasil didikannya PANDU SIAP, telah melahirkan tokoh-tokoh Samuda sebagai pelopor dan pimpinan pergerakan perjuangan di wilyah Kalimantan Tengah. Ini semua ditandai dengan sejumlah peristiwa penting mulai dari pertama peristiwa “Apel Proklamasi Kemerdekaan” sekaligus Mendirikan Pemerintah Darurat RI Wilayah Samuda yang dipimpin oleh Muhammad Baidawi Udan pada tanggal 8 Oktober 1945.
Kedua, pembentukan Batalyon BPRI/TKR Pertama di Samuda yang dikomandani oleh Ali Badrun Maslan pada tanggal 11 Oktober 1945 yang dilanjutkan dengan pembentukan Kompi-Kompi TKR di Samuda, Kuala Pembuang, Mendawai, Pagatan, Pembuang Hulu, Tumbang Samba, Kasongan dan Kuala Kuayan dengan tujuan yang strategis yaitu untuk “mengepung” posisi Pemerintahan NICA Sampit.
Ketiga, pada tanggal 24 hingga 28 November 1945 delegasi Pemerintah Darurat RI Samuda melakukan perundingan dengan NICA Sampit agar pihak NICA menyerahkan Sampit secara damai. Keempat, peristiwa perebutan Sampit atau “Coup De Etat Sampit Tak Berdarah” pada tanggal 29 November 1945 dibawah komando Pimpinan Pemerintah Darurat RI Samuda dengan dibantu oleh 9 orang Utusan Badan Pembantu Urusan Gubernur (BPUG) Kalimantan, Pangeran Muhammad Noor yang sekaligus merupakan Anggota Pimpinan Pusat  Badan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) Pimpinan “Bung Tomo” Surabaya yang dipimpin oleh H. Ahmad Hasan serta para pejuang Sampit yang dipelopori oleh Hasyim Djafar, H. Masyhur,  Abdullah A. Hamzah dll.
Kelima, peristiwa “Serangan Umum Banjarmasin” tanggal 15 Desember 1945, meskipun mengalami kegagalan yang disebabkan adanya pengkhianatan oleh salah seorang pejuang yang telah menjadi mata-mata (spion) NICA.
Keenam, peristiwa Serangan 7 Januari 1946 di Samuda oleh tentara KNIL dari Banjarmasin, dimana dalam peristiwa tersebut telah menyebabkan gugurnya seorangdan pejuang bernama Kurdi Puas serta tertangkapnya seluruh tokoh pejuang Samuda termasuk HM. Arsyad, bahkan akibat kerasnya siksaan yang dilakukan KNIL dua orang pejuang Samuda yaitu H. Umar Hasyim dan Muhammad Helmi Aspar meninggal di penjara Sampit.
“Sebagai seorang pejuang asal Samuda, sekaligus politikus perintis kemerdekaan RI, HM Arsyad telah mengalami beberapa peristiwa penting, seperti di tahun 1931 dia ditangkap dan diinterogasi oleh Intelejen NICA akibat adanya laporan “spion” namun tidak ditahan, kemudian di tahun 1934 diajak berundingan oleh Controleur NICA Sampit diatas kapal “IRMA” dengan maksud agar HM.Arsyad menghentikan kegiatan politik dan sebagai gantinya NICA akan membangunkan sebuah pabrik Pengasapan Karet,” beber Mulyadi.
Mulyadi menambahkan, peristiwa lainnya di tahun 1942 seluruh kegiatan politik dan pendidikan HM. Arsyad dibekukan oleh Pemerintah Pendudukan Jepang, HM Arsyad dua kali ditangkap yakni pada Januari 1946 dia kembali ditangkap dan di “Interneering” di Banjarmasin dan dibebaskan pada November 1946, “dan Maret 1947 kembali di ditangkap dan di “Interneering” di Banjarmasin karena dikhawatirkan masih melakukan kegiatan politik, namun akhirnya dibebaskan pada Agustus 1947,” rinci cucut HM Arsyad ini.
Selama sebagai salah satu pelaku perjuangan di Kalteng, atas jasa-jasanya HM Arsyad telah menerima beberapa bentuk penghargaan di antaranya, seperti di tahun 1960 menerima Anugrah “Pahlawan Perintis Kemerdekaan RI” melalui Menteri Kesejahteraan Sosial RI dengan SK. Nomor Pol.262/PK, Tanggal 2 Mei 1960.
Tahun 1981 Menerima Anugrah “ Veteran Pejuang Kemerdekaan RI” Melalui MENHANKAM RI dengan SK. Nomor Skep./1218/X/1981 tanggal 30 Oktober 1981. Tahun 1982 Jalan Penghubung Sampit – Samuda – Ujung Pandaran diresmikan sebagai “Jalan. HM. Arsyad” oleh Pemerintah Tingkat I Kalteng.
Tahun 1986 Tempat Pemakaman HM. Arsyad di Jaya Kelapa Samuda diresmikan sebagai “Taman Makam Pahlawan HM. Arsyad” oleh Pemerintah Tingkat. I Kalteng. Dan tahun 1992 dilaksanakan “Napak Tilas” Sejarah Perjuangan HM. Arsyad oleh Departemen Sosial dan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa gerak dan langkah perjuangan HM. Arsyad dalam menjalankan Dakwah Agama, gerakan-gerakan politik serta keberhasilannya dalam menumbuhkan dan menggerakkan semangat patriotisme tersebut tidak bisa dilepaskan dari keterlibatannya secara langsung dalam sebuah Organisasi Dakwah sekaligus Organisasi Politik Islam mulai dari Syarikat dagang Islam pada tahun 1909 hingga kemudian dikenal menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), dimana melalui organisasi tersebut dia mengenal dan bersahabat dengan tokoh-tokoh nasional seperti HOS Tjokroaminoto, KH. Agus Salim dan lain-lain, pendalaman Agama Islam yang diperolehnya semasa kecil dari Ulama Besar H.Matarif Fadli, dan persahabatannya yang “tidak disengaja” semasa remaja dengan dua orang pengusaha berkebangsaan Jerman di Sampit yang bernama Mr. Belher dan Mr. Helkis yang telah banyak memberikan gambaran situasi, taktik dan strategi pada masa Perang Dunia Ke-1 juga menjadi modal yang sangat berharga bagi HM.Arsyad.
“HM. Arsyad meninggal di Jaya Kelapa pada tanggal 14 Juli 1960 dan dimakamkan ditanah miliknya sendiri yang sekarang menjadi “Komplek Makam Pahlawan HM. ARSYAD” di Samuda, Kecamatan Mentaya Hilir Selatan, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalteng,” papar Mulyadi. Mulyadi juga menyampai Wasiat HM. Arsyad yang berbunyi: “Aku tiada meninggalkan harta kekayaan buat kalian, aku hanya mewariskan sebuah keyakinan iman yang selama ini kupegang teguh melebihi keteguhanku dalam menentang bangsa penjajah.” (fm)

1 komentar:

  1. The best casino site for South African players
    You can also play the casino games and win real money with live dealer games. The best casino site for South African luckyclub.live players. We offer a wide variety of

    BalasHapus

 

Intan Libra Venus Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template