Mohammad
Bondan seorang
perintis kemerdekaan, karena aktif berjuang melawan penjajah, pernah dibuang
oleh pemerintah Belanda ke Tanah Merah Boven Digul, suatu tempat yang terletak
di pedalaman, di tengah-tengah pulau Papua. Wilayah itu terkenal dengan hutan
yang lebat dan banyaknya nyamuk Malaria.
Catatan ini
disusun oleh Alit Bondan berdasarkan catatan harian Moh.Bondan selama
masa pembuangannya bersama-sama dengan Moh.Hatta dan Sutan Syahrir serta ratusan perintis kemerdekaan lainnya. Beliau dilahirkan di
Cirebon 15 Januari 1910.
September
1927 , Moh.Bondan
telah aktif dalam Rapat PNI ( Perserikatan Nasional Indonesia ) di Cirebon.
Sesungguhnya anak-anak yang belum cukup umur 18 Tahun dilarang mengikuti
kegiatan politik, tetapi untuk mengelabui polisi dia menyamar sebagai orang
yang lebih tua dengan berpakaian adat jawa.
Desember
1929 , Rapat
umum yang sama akan diadakan oleh PNI di tempat yang sama. Kemudian rapat
diundur menjadi 1 Januari 1930. Tetapi apa hendak dikata, Tanggal 29
Desember 1929 secara besar-besaran Belanda menangkap semua aktifis PNI di pusat
maupun di cabang seluruh Indonesia, Termasuk Moh.Bondan. Hal itu
mendapat reaksi dari segala pihak, antara lain PPPKI yang dipimpin oleh
Dr.Sutomo, kaum nasionalis di dalam volksraad dan perhimpunan Indonesia di negeri
Belanda. Akhirnya setelah disekap 2 minggu, pemerintah Belanda membebaskan para
tahanan kecuali empat orang, yakni : Ir.Sukarno, Gatot Mangkupraja, Maskun
dan Supriadinata. Moh.Bondan sebelum dibebaskan, dibawa menghadap Tuan
Hilje, residen Cirebon yang langsung memecatnya sebagai pegawai
Kotapraja Cirebon. Alasan pemecatan, berkelakuan buruk diluar dinas dan pola
pikir yang revolusioner. Walaupun demikian Moh.Bondan merasa bangga karena jiwa
nasionalismenya diharhagai oleh tuan residen. Karena di Cirebon tidak ada
harapan untuk mendapatkan pekerjaan , Moh.Bondan pindah ke Jakarta dan
bergabung dengan tokoh-tokoh pengurus partai.
Juni 1932 , Kongres PNI pertama di Bandung.
Utusan dari Jakarta Sutan Syahrir terpilih sebagai ketua umum sedangkan Moh.Bondan
sebagai komisaris untuk Jawa Barat. Kongres membahas Azas kebangsaan dan Azas
kerakyatan dan meningkatkan program usaha untuk kepentingan pendidikan politik,
ekonomi dan sosial. Diputuskan juga untuk menerbitkan sebuah majalah yang
bernama Kedaulatan Rakyat.
Dalam sebuah
rapat umum di Gang Kenari Jakarta, Moh.Bondan mengucapkan slogan : Tanpa
Sukarno - Hatta, kita jalan terus. Maksudnya untuk memupuk semangat
hadirin, karena sukarno mendirikan Partindo, kemudian Sukarno ditangkap Belanda
disertai larangan terhadap rapat-rapat partai dan rapat umum. Istilah
Kemerdekaan yang sering dikumandangkan oleh partai menjadi momok bagi penguasa.
Dalam suatu rapat rahasia di Bandung, PNI memutuskan untuk tetap jalan terus walaupun ada larangan, dan memilih pengurus baru : Bung Hatta sebagai Ketua, Burhanuddin sebagai Sekretaris. Maskun menjabat Wakil Ketua I dan Suka Sumitro menjadi bendahara II, Moh.Bondan terpilih sebagai Komisaris Umum , sedangkan Bung Syahrir tidak diberi jabatan karena akan melanjutkan studinya di Negeri Belanda.
Dalam suatu rapat rahasia di Bandung, PNI memutuskan untuk tetap jalan terus walaupun ada larangan, dan memilih pengurus baru : Bung Hatta sebagai Ketua, Burhanuddin sebagai Sekretaris. Maskun menjabat Wakil Ketua I dan Suka Sumitro menjadi bendahara II, Moh.Bondan terpilih sebagai Komisaris Umum , sedangkan Bung Syahrir tidak diberi jabatan karena akan melanjutkan studinya di Negeri Belanda.
25 Februari
1934, Pengurus
baru dan pengurus lama PNI ditangkap Belanda. Bung Hatta , Syahrir
dan Bondan ditangkap di Jakarta, sedangkan Burhanuddin, Maskun,
Suka Sumitro dan Marwoto ditangkap di Bandung. Setelah 5
Hari meringkuk dalam tahanan polisi di Koningsplein West ( Jalan Merdeka Barat
), bung Hatta dan Moh.Bondan dipindahkan ke penjara Glodok, dan Syahrir
dijebloskan ke penjara Cipinang.
4 September
1934, Setelah
Enam bulan dalam sel 4 X 4 Meter di Penjara Glodok, biasanya untuk tahanan
Eropa, barulah diperiksa oleh Cornelis Jacobus Seegeler , yaitu
seorang Controleur voor de Politie . Pemeriksaan dilakukan dari pukul
08.00 s/d 14.00 di jalan Molinvlist Cost ( jalan Hayam Wuruk , kini kantor
Dirjen Perhubungan Udara ). Dari pertanyaan yang diajukan , apakah anda seorang
tokoh yang berpengaruh, berapa kali jadi utusan ke kongres atau konferensi ,
pernah memimpin rapat umum dan sebagainya , sudah dapat diketahui bahwa dia
tidak akan diajukan ke pengadilan, melainkan dibuang.
29 Januari
1935, Malam
sebelumnya bersama Bung Hatta dibawa ke kantor penjara untuk urusan
administrasi dan dimasukkan ke mobil tahanan yang membawanya ke Tanjung Priok.
Di sana sudah menunggu kapal Motor Melchior Treub yang akan membawa
mereka ke tanah buangan. Hatta dan Syahrir ditempatkan di kelas 2, tetapi
mereka lebih senang berkumpul dengan teman-teman di dek, karena bisa bergurau.
31 Januari
1935, Kapal
singgah di Surabaya tetapi tidak merapat ke dermaga. Kapal meneruskan
pelayarannya dan dua hari kemudian sampai di Makassar. Para tahanan dijemput ke
tengah laut dengan Bargas, merapat di luar area pelabuhan dan dijebloskan ke
dalam penjara kota. Tiga hari di Makassar, dengan kapal KPM yang lebih kecil,
bernama Van Der Weyck pelayaran dilanjutkan ke Ambon. Sebelumnya mampir
sebentar di Kendari mengambil barang-barang pos dan juga di Banda Neira. Di
Ambon ganti lagi dengan kapal yang lebih kecil bernama Albatros , mampir
di Tual memuat perbekalan dan melanjutkan pelayaran menuju Digul.
22 Februari
1935, jam 9 pagi
para korban kekuasaan politik kolonial Belanda berdasarkan Undang-Undang Exorbitante
Rechten yang dilaksanakan oleh Gubernur Jenderal B.C de Jonge ,
mendarat di Ibukota Boven Digul yang bernama Tanah Merah dan dilakukan serah
terima dari polisi yang mengawalnya dari Tanjung Priok kepada penguasa setempat
yang diwakili oleh seorang kapten tentara KNIL.
Dari Daerah penguasa ( bestuurterrein ) mereka dibawa ke daerah orang buangan melalui sungai kecil bernama Wet dengan diantar oleh lurah kampung Tanah Merah. Di Tanah Merah tadinya ada tujuh kampung dari kampung A sampai G. Tapi sejak adanya sistem pemulangan tahun 1931 tinggal 2 kampung B dan C. Jumlah orang buangan sekitar 900 tidak termasuk keluarganya. Yang jadi lurah namanya Budisucitro yang pernah dibuang ke daerah terpencil lagi bernama Tanah Tinggi , yaitu tempat bagi orang-orang radikal. Penghuninya sampai 100 Orang, tapi kini tinggal belasan saja.
Dari Daerah penguasa ( bestuurterrein ) mereka dibawa ke daerah orang buangan melalui sungai kecil bernama Wet dengan diantar oleh lurah kampung Tanah Merah. Di Tanah Merah tadinya ada tujuh kampung dari kampung A sampai G. Tapi sejak adanya sistem pemulangan tahun 1931 tinggal 2 kampung B dan C. Jumlah orang buangan sekitar 900 tidak termasuk keluarganya. Yang jadi lurah namanya Budisucitro yang pernah dibuang ke daerah terpencil lagi bernama Tanah Tinggi , yaitu tempat bagi orang-orang radikal. Penghuninya sampai 100 Orang, tapi kini tinggal belasan saja.
Mei 1935, Moh Bondan terkena demam
malaria dan dirawat di rumah sakit Wilhelmina selama dua minggu. Akibat
panas badannya yang mencapai 40,2*C, telinga kirinya menjadi tuli. Bacaan cukup
banyak, Hatta dan Syahrir menerima Volksblad, De Groene, Amsterdammer
dan Nieuwe Rotterdamche Courant sebulan sekali. Moh.Bondan
menerima harian Soeara Oemoem dan mingguan Doenia Dagang
dari Surabaya dan harian Pemandangan dari keluarga. Sayangnya Hatta dan Syahrir
hanya setahun berada di Tanah Merah.
Awal tahun
1943, Ketika
lautan teduh menjadi gelanggang peperangan, persediaan makanan makin menipis.
Hampir dapat dipastikan setiap pukul 9.00 pagi pesawat Jepang datang dari Ambon
memuntahkan peluru senapan mesinnya dan kadang-kadang juga bom yang menghantam
radio atau kapal yang sedang membongkar bahan makanan. Belanda mulai panik dan
mengungsikan orang buangan ke pedalaman lagi ke tempat yang bernama Wantaka ,
di tepi kali Bian.
29 Mei s.d
10 Juni 1943, Setiap
pukul 17.00 orang buangan diangkut dengan kapal motor ke suatu tempat dan
besoknya dengan pesawat Catelina diterbangkan ke gugusan pulau Thursday
di wilayah Australia. Setiap pesawat datang membawa tentara Australia, dan
kembalinya mengangkut orang buangan beserta keluarganya ke tempat karantina. Di
sana berkumpul lebih kurang 600 Orang buangan beserta keluarganya.
23 Juni 1943 , kapal laut yang membawa orang
buangan dari tempat karantina memasuki pelabuhan Brisbane . Tidak kurang
20 Truk mengangkut orang buangan ke luar pelabuhan menuju kamp pengungsian.
Tiga bulan kemudian Moh.Bondan dirawat di Rumah Sakit sipil di kota Cowra
, karena lututnya keseleo akibat main bola. Untuk kedua kalinya Moh.Bondan
masuk rumah sakit. Kali ini karena radang usus buntu yang harus dioperasi.
Disini Moh.Bondan berkenalan dengan seorang tentara Australia yang berasal dari
Sydney dan menitipkan kepadanya suatu catatan kecil yang menyatakan bahwa
orang-orang yang berada dalam kamp pengungsian bukanlah para tawanan melainkan
pengungsi politik dari Digul. Catatan itu oleh seorang Kopral diserahkan kepada
Asosiasi Australia - Indonesia di Sidney yang sekretarisnya dijabat oleh Miss
Molly Warner . Tidak mengira sedikitpun , dan mimpipun tidak, tiga tahun
kemudian (1946) gadis itu menjadi Istri Moh.Bondan.
Keluar dari Kamp Pengungsian , Moh.Bondan dibawa ke desa Helidon dekat kota Toowoomba , bekerja sebagai tukang membersihkan peralatan perang atau benda-benda amunisi. Hampir setahun bekerja disana, Moh.Bondan ditarik ke Melbourne dan bekerja sebagai anggota redaksi surat kabar berbahasa Indonesia, Penyoeloeh dengan penanggung jawabnya Winanta.
18 Agustus
1945, para
pengungsi mendengar proklamasi dari radio Bukittinggi berbahasa Arab.
Bersama-sama mereka dengan dibantu seorang guru Australia menterjemahkan
proklamasi tersebut. Selanjutnya mereka membentuk suatu organisasi bernama Central
Komite Indonesia Merdeka atau Cenkim dan Moh.Bondan
diangkat sebagai sekretarisnya.
21 September
1945, pemogokan
umum menentang Belanda mulai dari Brisbane menjalar ke seluruh Australia
dan Selandia Baru, terus ke Amerika Serikat, Eropa dan Timur Tengah. Di manapun
kapal Belanda berada apalagi yang membawa peralatan perang, tidak bisa bergerak
akibat pemboikotan ini.
Atas nama Cenkim, Moh.Bondan mencoba menghubungi beberapa tokoh dunia. Surat tertanggal 17 Juni 1946 kepada Department Of State agar Amerika Serikat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di PBB, mendapat balasan yang ditandatangani oleh Alger Hiss, Direktur Kantor Khusus urusan politik. Cenkim juga menulis surat tertanggal 30 Januari 1947 kepada DR.R.V Evatt, Menteri Luar Negeri Australia yang ketika itu sebagai Ketua Konferensi Asia Pasifik mengadukan bahwa Belanda mempunyai kamp Konsentrasi bagi buangan politik di Digul.
Atas nama Cenkim, Moh.Bondan mencoba menghubungi beberapa tokoh dunia. Surat tertanggal 17 Juni 1946 kepada Department Of State agar Amerika Serikat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di PBB, mendapat balasan yang ditandatangani oleh Alger Hiss, Direktur Kantor Khusus urusan politik. Cenkim juga menulis surat tertanggal 30 Januari 1947 kepada DR.R.V Evatt, Menteri Luar Negeri Australia yang ketika itu sebagai Ketua Konferensi Asia Pasifik mengadukan bahwa Belanda mempunyai kamp Konsentrasi bagi buangan politik di Digul.
21 Juli 1947, Belanda merobek-robek perjanjian
Linggarjati dan mengadakan serangan ke Republik. Cenkim mengadukan hal
itu ke Perdana Menteri Australia, J.B.Chifley, yang membalas suratnya
tertanggal 24 Juli 1947. Surat ke Sekjen PBB dibalas tanggal 31 Juli 1947, yang
ditandatangani oleh Acting Sekjennya.
Oktober 1947, dengan pesawat komisi perdamaian
yang bernama Komisi Tiga Negara ( Australia, Belgia dan Amerika
Serikat ), Moh.Bondan beserta keluarga dipulangkan ke Ibukota Republik
Indonesia masa itu, yaitu Jogyakarta.
6 Februari
1981, Moh.Bondan
meninggal di Jakarta dan dimakamkan di Tanah Kusir , Jakarta Selatan. **
Sejarah Singkat Perjuangan Pahlawan Perintis Kemerdekaan RI, HM Arsyad Bin H Dukarim
HM Arsyad
adalah salah satu tokoh pejuang dan pelaku sejarah yang terlibat langsung pada
tiga dari empat periode perjuangan bangsa Indonesia. Nama besar HM Arsyad,
pejuang Samuda, Kabupaten Kotawaringin Timur oleh pemerintah diabadikan sebagai
jalan poros provinsi.
HM. Arsyad
lahir di Kampung Maliku, Bati-Bati, Pelaihari, Kalimantan Selatan, 7 Mei 1874.
HM Arsyad merupakan anak ke-2 dari 7 bersaudara dari pasangan H. Dukarim
yang merupakan salah seorang anak saudagar Bugis bernama Kusin, dengan Siti
Jaleha atau Datu Tampala, yaitu putri Kepala Suku Dayak Seranau bernama Hengang
Sabung.
Pada tahun
1875, atau setahun setelah takluknya Kerajaan Banjar oleh Kolonial Belanda,
seluruh Keluarga HM. Arsyad di “Persona Non Grata” diusir keluar dari
Pelaihari oleh Pemerintah Kolonial Belanda hingga akhirnya hijrah dan menetap
di Kampung Basirih, tepatnya di Kecamatan Mentaya Hilir
Selatan, Samuda, Kabupaten Kotim.
Selatan, Samuda, Kabupaten Kotim.
HM. Arsyad
adalah tokoh yang tidak pernah menikmati pendidikan sekolah formal seperti
halnya para tokoh nasional yang dikenal dengan “Para Pendiri Bangsa” atau The
Founding Fathers, namun HM. Arsyad telah mampu membentuk dirinya menjadi
seorang Pendakwah Agama, Pelopor Pendidikan, Kepanduan dan Perkoperasian,
Politikus Handal yang bertaraf nasional, dan bahkan seorang patriot yang gigih
dan tak mudah menyerah hingga usia 70-an tahun.
Gambaran
perjuangan HM. Arsyad diungkapkannya dengan pribahasa: “Kaki Kananku ada di
Masjid, dan Kaki Kiriku ada di Penjara” yang menggambarkan betapa
beratnya perjuangan yang dilakukannya, karena sebagai pemimpin yang tegas dan
Istiqomah, di samping harus menghadapi kelicikan Nederlands Indies Civil
Administation (NICA), dia juga harus menghadapi “penghianatan” dari sekelompok
orang yang tergiur iming-iming hadiah dan kedudukan dari pihak penjajah NICA.
HM. Arsyad
adalah satu-satunya putra Kalimantan yang pada tahun 1920 memperoleh
kepercayaan dari Pimpinana Pusat Partai Sarekat Islam (PSI) HOS Tjokroaminoto -
H. Agus Salim untuk memimpin PSII Zuider En Oosterafdeeling Van Borneo (wilayah
Kalimantan Bagian Selatan) dan bahkan pada tahun 1930 beliau bersama-sama HOS
Tjokroaminoto dan H. Agus Salim menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu
agama Islam di Makah.
Melalui
kepemimpinannya di PSII tersebut, pada tahun 1926 HM. Arsyad berhasil
mendirikan sebuah lembaga pendidikan “pribumi” pertama dengan nama Sekolah
Sarekat Islam (SI) di Samuda. Dan pada tahun 1931 hingga 1942 HM. Arsyad
berhasil mendirikan sebuah lembaga kepanduan (Kepramukaan) yang dikenal dengan
Pandu SIAP di Samuda dan mengembangkan kegiatan tersebut kedaerah-daerah luar
Samuda seperti Kuala pembuang, Kasongan, Kuala Kuayan, Pagatan, Mendawai serta
Kumai.
“HM. Arsyad
adalah satu dari sedikit tokoh yang terlibat langsung dalam merintis, merebut
dan mempertahankan kemerdekaan” yang kita nikmati hingga saat ini,” kata
Mulyadi Ambut pendiri Forum Penerus Perjuangan HM. Arsyad, Samuda.
Menurut
Mulyadi, HM Arsyad melalui hasil didikannya PANDU SIAP, telah melahirkan
tokoh-tokoh Samuda sebagai pelopor dan pimpinan pergerakan perjuangan di wilyah
Kalimantan Tengah. Ini semua ditandai dengan sejumlah peristiwa penting mulai
dari pertama peristiwa “Apel Proklamasi Kemerdekaan” sekaligus Mendirikan
Pemerintah Darurat RI Wilayah Samuda yang dipimpin oleh Muhammad Baidawi Udan
pada tanggal 8 Oktober 1945.
Kedua,
pembentukan Batalyon BPRI/TKR Pertama di Samuda yang dikomandani oleh Ali
Badrun Maslan pada tanggal 11 Oktober 1945 yang dilanjutkan dengan pembentukan
Kompi-Kompi TKR di Samuda, Kuala Pembuang, Mendawai, Pagatan, Pembuang Hulu,
Tumbang Samba, Kasongan dan Kuala Kuayan dengan tujuan yang strategis yaitu
untuk “mengepung” posisi Pemerintahan NICA Sampit.
Ketiga, pada
tanggal 24 hingga 28 November 1945 delegasi Pemerintah Darurat RI Samuda
melakukan perundingan dengan NICA Sampit agar pihak NICA menyerahkan Sampit
secara damai. Keempat, peristiwa perebutan Sampit atau “Coup De Etat Sampit Tak
Berdarah” pada tanggal 29 November 1945 dibawah komando Pimpinan Pemerintah
Darurat RI Samuda dengan dibantu oleh 9 orang Utusan Badan Pembantu Urusan
Gubernur (BPUG) Kalimantan, Pangeran Muhammad Noor yang sekaligus merupakan
Anggota Pimpinan Pusat Badan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI)
Pimpinan “Bung Tomo” Surabaya yang dipimpin oleh H. Ahmad Hasan serta para
pejuang Sampit yang dipelopori oleh Hasyim Djafar, H. Masyhur, Abdullah
A. Hamzah dll.
Kelima,
peristiwa “Serangan Umum Banjarmasin” tanggal 15 Desember 1945, meskipun
mengalami kegagalan yang disebabkan adanya pengkhianatan oleh salah seorang
pejuang yang telah menjadi mata-mata (spion) NICA.
Keenam,
peristiwa Serangan 7 Januari 1946 di Samuda oleh tentara KNIL dari Banjarmasin,
dimana dalam peristiwa tersebut telah menyebabkan gugurnya seorangdan pejuang
bernama Kurdi Puas serta tertangkapnya seluruh tokoh pejuang Samuda termasuk
HM. Arsyad, bahkan akibat kerasnya siksaan yang dilakukan KNIL dua orang
pejuang Samuda yaitu H. Umar Hasyim dan Muhammad Helmi Aspar meninggal di
penjara Sampit.
“Sebagai
seorang pejuang asal Samuda, sekaligus politikus perintis kemerdekaan RI, HM
Arsyad telah mengalami beberapa peristiwa penting, seperti di tahun 1931 dia
ditangkap dan diinterogasi oleh Intelejen NICA akibat adanya laporan “spion”
namun tidak ditahan, kemudian di tahun 1934 diajak berundingan oleh Controleur
NICA Sampit diatas kapal “IRMA” dengan maksud agar HM.Arsyad menghentikan
kegiatan politik dan sebagai gantinya NICA akan membangunkan sebuah pabrik
Pengasapan Karet,” beber Mulyadi.
Mulyadi
menambahkan, peristiwa lainnya di tahun 1942 seluruh kegiatan politik dan
pendidikan HM. Arsyad dibekukan oleh Pemerintah Pendudukan Jepang, HM Arsyad
dua kali ditangkap yakni pada Januari 1946 dia kembali ditangkap dan di
“Interneering” di Banjarmasin dan dibebaskan pada November 1946, “dan Maret
1947 kembali di ditangkap dan di “Interneering” di Banjarmasin karena
dikhawatirkan masih melakukan kegiatan politik, namun akhirnya dibebaskan pada
Agustus 1947,” rinci cucut HM Arsyad ini.
Selama
sebagai salah satu pelaku perjuangan di Kalteng, atas jasa-jasanya HM Arsyad
telah menerima beberapa bentuk penghargaan di antaranya, seperti di tahun 1960
menerima Anugrah “Pahlawan Perintis Kemerdekaan RI” melalui Menteri
Kesejahteraan Sosial RI dengan SK. Nomor Pol.262/PK, Tanggal 2 Mei 1960.
Tahun 1981
Menerima Anugrah “ Veteran Pejuang Kemerdekaan RI” Melalui MENHANKAM RI dengan
SK. Nomor Skep./1218/X/1981 tanggal 30 Oktober 1981. Tahun 1982 Jalan
Penghubung Sampit – Samuda – Ujung Pandaran diresmikan sebagai “Jalan. HM.
Arsyad” oleh Pemerintah Tingkat I Kalteng.
Tahun 1986
Tempat Pemakaman HM. Arsyad di Jaya Kelapa Samuda diresmikan sebagai “Taman
Makam Pahlawan HM. Arsyad” oleh Pemerintah Tingkat. I Kalteng. Dan tahun 1992
dilaksanakan “Napak Tilas” Sejarah Perjuangan HM. Arsyad oleh Departemen Sosial
dan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI.
Memang tidak
dapat dipungkiri bahwa gerak dan langkah perjuangan HM. Arsyad dalam
menjalankan Dakwah Agama, gerakan-gerakan politik serta keberhasilannya dalam
menumbuhkan dan menggerakkan semangat patriotisme tersebut tidak bisa
dilepaskan dari keterlibatannya secara langsung dalam sebuah Organisasi Dakwah
sekaligus Organisasi Politik Islam mulai dari Syarikat dagang Islam pada tahun
1909 hingga kemudian dikenal menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII),
dimana melalui organisasi tersebut dia mengenal dan bersahabat dengan
tokoh-tokoh nasional seperti HOS Tjokroaminoto, KH. Agus Salim dan lain-lain,
pendalaman Agama Islam yang diperolehnya semasa kecil dari Ulama Besar
H.Matarif Fadli, dan persahabatannya yang “tidak disengaja” semasa remaja
dengan dua orang pengusaha berkebangsaan Jerman di Sampit yang bernama Mr.
Belher dan Mr. Helkis yang telah banyak memberikan gambaran situasi, taktik dan
strategi pada masa Perang Dunia Ke-1 juga menjadi modal yang sangat berharga
bagi HM.Arsyad.
“HM. Arsyad
meninggal di Jaya Kelapa pada tanggal 14 Juli 1960 dan dimakamkan ditanah
miliknya sendiri yang sekarang menjadi “Komplek Makam Pahlawan HM. ARSYAD” di
Samuda, Kecamatan Mentaya Hilir Selatan, Kabupaten Kotawaringin Timur,
Kalteng,” papar Mulyadi. Mulyadi juga menyampai Wasiat HM. Arsyad yang
berbunyi: “Aku tiada meninggalkan harta kekayaan buat kalian, aku hanya
mewariskan sebuah keyakinan iman yang selama ini kupegang teguh melebihi
keteguhanku dalam menentang bangsa penjajah.” (fm)
The best casino site for South African players
BalasHapusYou can also play the casino games and win real money with live dealer games. The best casino site for South African luckyclub.live players. We offer a wide variety of