Dari kamar
ibu yang tertutup melata kabut. Kabut itu berjelanak dari celah bawah pintu.
Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak
ke teras depan.
Awalnya,
orang-orang mengira bahwa rumah kami tengah sesak dilalap api. Tapi kian waktu
mereka kian bosan membicarakannya, karena mereka tak pernah melihat api
sepercik pun menjilati rumah kami. Yang mereka lihat hanya asap tebal yang
bergulung-gulung. Kabut. Pada akhirnya, mereka hanya akan saling berbisik,
”Begitulah rumah pengikut setan, rumah tanpa Tuhan, rumah itu pasti sudah
dikutuk.”
Peristiwa
itu terjadi berpuluh tahun silam, pada Oktober 1965 yang begitu merah. Seperti
warna bendera bergambar senjata yang merebak dan dikibarkan sembunyi-sembunyi.
Ketika itu, aku masih sepuluh tahun. Ayah meminta ibu dan aku untuk tetap
tenang di kamar belakang. Ibu terus mendekapku ketika itu. Sayup-sayup, di
ruang depan ayah tengah berbincang dengan beberapa orang. Entah apa yang mereka
perbincangkan, tetapi sepertinya mereka serius sekali. Desing golok yang
disarungkan pun terdengar tajam. Bahkan beberapa kali mereka meneriakkan nama
Tuhan.
Beberapa
saat kemudian ayah mendatangi kami yang tengah gemetaran di kamar belakang.
Ayah meminta kami untuk segera pergi lewat pintu belakang. Ayah meminta kami
untuk pergi ke rumah abah (bapak dari ayah) yang terletak di kota kecamatan,
yang jaraknya tidak terlampau jauh.
Masih lekat
dalam kepalaku, malam itu ibu menuntunku terburu-buru melewati jalan pematang
yang licin. Cahaya bulan yang redup malam itu cukup menjadi lentera kami dari
laknatnya malam. Beberapa kali aku terpeleset, kakiku menancap dalam kubang
lumpur sawah yang becek dan dingin, hingga ibu terpaksa menggendongku.
Sesampainya di rumah abah, ibu mengetuk pintu terburu-buru dan melemparkan diri
di tikar rami. Napasnya tersengal-sengal, keringatnya bercucuran. Abah
mengambilkan segelas air putih untuk ibu, sebelum mengajakku tidur di kamarnya.
Malam itu,
abah menutup pintu rapat-rapat dan berbaring di sebelahku. Sementara, di luar
riuh oleh teriakan-teriakan, suara kentungan, juga desing senjata api sesekali.
Abah menyuruhku untuk segera memejamkan mata.
Subuh
paginya, ketika suara azan terdengar bergetar, abah memanggil-manggil nama ibu
sambil menelanjangi seluruh bilik. Abah panik karena ibu sudah tidak ada lagi
di kamarnya.
Selepas
duha, abah mengantarku pulang dengan kereta untanya. Ibumu pasti sudah pulang
duluan, begitu kata abah.
Sesampainya
di depan rumah, tiba-tiba abah menutup kedua mataku dengan telapak tangannya
yang bau tembakau. Dari sela-sela jari abah aku bisa menilik kaca jendela dan
pintu yang hancur berantakan, terdapat bercak merah di antara dinding dan
teras. Warna merah yang teramat pekat, seperti darah yang mengering. Buru-buru
abah memutar haluan, membawaku pulang kembali ke rumahnya. Dari kejauhan aku
melihat lalu lalang orang di depan rumah kami yang kian mengecil dalam
pandanganku. Orang-orang itu tampak terlunta-lunta mengangkat karung keranda.
”Mengapa
kita tak jadi pulang, Bah?” tanyaku.
”Rumahmu
masih kotor, biar dibersihkan dulu.” Abah tersengal-sengal mengayuh kereta
untanya.
”Kotor
kenapa, Bah?”
Abah terdiam
beberapa jenak, ”Ya kotor, mungkin semalam banjir.”
”Banjir? Kan
semalam tidak hujan, Bah. Banjir apa?”
”Ya banjir.”
”Banjir
darah ya, Bah, kok warnanya merah.”
”Hus!”
Berselang
jam, pada hari yang sama, abah memintaku untuk tinggal sebentar di rumah. Aku
tak boleh membuka pintu ataupun keluar rumah sebelum abah datang.
”Jangan ke
mana-mana, abah mau bantu-bantu membersihkan rumahmu dulu, sekalian jemput
ibumu.”
Aku tak tahu
apa yang tengah terjadi di luar sana, tapi hawa mencekam itu sampai kini masih
membekas. Selagi abah pergi, aku hanya bisa mengintip keadaan di luar dari
celah-celah dinding papan. Di luar sepi sekali. Sangat sepi. Kampung ini
seperti kampung mati. Lama sekali abah tak kunjung datang. Jauh selepas ashar,
baru kudengar decit rem kereta untanya di depan rumah. Aku mengempaskan napas
lega. Menyongsong abah.
Abah
tertatih merangkul ibu. Ibu hanya terdiam lunglai seperti boneka. Matanya
kosong tanpa kedipan. Rambutnya acak-acakan, tak karuan. Guritan matanya lebam
menghitam.
Ketika kutanya
abah ada apa dengan ibu, abah hanya menjawab singkat, bahwa ibu sedang sakit.
Lalu aku bertanya lagi kepada abah, ayah mana? Dan abah tidak menjawab. Namun,
beberapa waktu kemudian, dengan sangat perlahan, abah mulai menjelaskan bahwa
hidup dan mati adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Laki-laki, perempuan,
tua, muda, semuanya akan didatangi kematian—lantaran mereka pernah hidup. Maka
serta-merta aku paham dengan warna merah yang menggenang di teras rumah tadi
pagi. Saat itu aku tak bisa menangis. Namun, dadaku sesak menahan ngeri.
Semenjak
hari yang merah itulah ibu tak pernah sudi keluar kamar, apalagi keluar rumah.
Ketika ibu kami paksa untuk menghirup udara luar, ia akan menjerit dan meronta
tak karuan. Pada akhirnya, aku dan abah hanya bisa pasrah. Tampaknya ada
sesuatu yang rusak dalam kepala ibu. Ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Ibu
seperti sudah tak peduli lagi pada dunia. Sepanjang hari pekerjaannya hanya
diam, sesekali menggedor-gedor meja dan lemari, menghantam-hantamkan bantal ke dinding
dan terdiam lagi.
Ibu memang
benar-benar sakit. Makan dan minum harus kami yang mengantarkan ke kamarnya.
Mandi pun harus kami yang menuntunnya. Berganti pakaian, menyisir rambut,
melipat selimut, semua aku dan abah yang melakukannya. Hanya satu hal yang kami
tidak mengerti: kamar ibu selalu berkabut.
Lelah sudah
kami mengusir kabut-kabut itu dari sana. Kabut yang selalu muncul tiba-tiba.
Kabut yang selalu mengepul, setelah kami menutup kembali pintu dan jendela,
mengepul lagi dan lagi. Setelah kami tilik dengan saksama, baru kami menyadari
sesuatu, bahwa kabut itu bersumber dari mata ibu. Sejauh ingatanku, ibu tak
pernah menitiskan air mata. Namun dari matanya selalu mengepul kabut tebal yang
tak pernah kami pahami muasalnya. Mungkinkah kabut itu berasal dari air mata
yang menguap lantaran tertahan bertahun-tahun lamanya. Entahlah.
Pada
akhirnya, bagi kami, kabut ibu menjadi hal yang biasa. Kami hanya butuh membuka
pintu dan jendela lebar-lebar untuk memecah kabut itu. Namun begitulah,
semenjak kami menyadari keberadaan kabut itu, ibu tak lagi sudi membukakan
pintu kamarnya untuk kami. Makanan dan minuman kami selipkan melewati jendela
kaca luar. Namun sepertinya ia tak lagi peduli dengan makanan. Beberapa kali
kami menemukan makanan yang kami selipkan membusuk di tempat yang sama. Tak
tersentuh sama sekali. Ketika kami memanggil-manggil nama ibu, tak ada sahutan
sama sekali dari dalam, kecuali kepulan kabut yang memudar dan pecah di depan
mata kami.
Sementara,
kian waktu, kamar itu kian buram oleh kabut yang terus mengental. Kami tak bisa
melihat jelas ke dalamnya. Hingga suatu ketika, aku dan abah berinisiatif untuk
mendobrak pintu kamar ibu. Kami benar-benar berniat melakukan itu. Kami
benar-benar khawatir dengan keadaan ibu. Linggis dan congkel kami siapkan.
Beberapa kali kami melemparkan hantaman. Pintu itu bergeming. Kami terus
menghantamnya, mencongkelnya, mendobraknya, hingga pintu itu benar-benar rebah
berdebam di tanah.
Aku dan abah
mengibaskan kabut itu pelan-pelan. Membuka jendela lebar-lebar. Perlahan kami
mendapati kabut itu memudar dan pecah. Beberapa saat kemudian kabut itu
benar-benar lenyap. Namun kamar ibu menjadi sangat senyap. Tak ada siapa-siapa
di sana. Hanya ada ranjang yang membatu, juga bantal selimut yang tertata rapi.
Kami tidak melihat ibu di sana. Aneh, kami juga tidak melihat ibu berkelebat
atau berlari keluar kamar. Yang kami saksikan dalam bilik itu hanya kabut yang
kian menipis dan hilang.
Kami masih
belum yakin ibu hilang. Berhari-hari kami mencari ibu sampai ke kantor
kecamatan. Kami juga menyebarkan berita kehilangan sampai kantor polisi. Waktu
melaju, berbilang pekan dan bulan, tapi ibu tak juga kami temukan. Hingga
keganjilan itu muncul dari kamar ibu. Kabut itu. Kabut itu masih terus mengepul
dari kamar ibu, entah dari mana muasalnya. Lambat laun kami berani menyimpulkan
bahwa ibu tidak benar-benar hilang. Ibu masih ada di rumah ini, di kamarnya.
Kabut itu, kabut itu buktinya. Kabut itu adalah kabut ibu. Kabut yang tak
pernah ada kikisnya.
Akhirnya,
aku dan abah memutuskan untuk mengunci rapat-rapat kamar ibu. Membiarkan kabut
itu terus melata. Berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang
tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan. Kami tak
perlu lagi memedulikan ocehan orang-orang yang mengatakan bahwa rumah kami
adalah rumah setan, rumah tak bertuhan, rumah yang menanggung kutukan. Karena,
kami yakin, tak lama lagi, kabut itu pun akan menelan rumah kami, sebagaimana
ia menelan ibu.
Ketika Kabut
Malang, 11-11-11
Malang, 11-11-11
0 komentar:
Posting Komentar